Istilah transfer pricing mencuat ketika beberapa perusahaan multinasional mencoba menghindari pajak misalnya melakukan pengalihan laba dari negara asalnya (tarif pajak tinggi) ke negara bertarif pajak rendah (tax havens).

Walau terlihat legal, namun cara ini dianggap sebagai cara yang amoral karena berusaha menghindari pajak secara masif. Padahal, penerimaan pajak dari tempat perusahaan multinasional beroperasi cukup berpengaruh terhadap total penerimaan pajak tempat (negara) tersebut. Lantas apa itu transfer pricing?

Pengertian Transfer Pricing

Pengertian Transfer pricing (selanjutnya disingkat TP) dapat dilihat dari tiga aspek yang berbeda. Dari sisi hukum perseroan misalnya, TP dianggap sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi dan sinergi antara perusahaan dan pemegang sahamnya.

Dari aspek akuntansi industri atau manajerial, transfer pricing digunakan untuk memaksimalkan laba perusahaan melalui penentuan harga barang atau jasa oleh suatu unit organisasi dari perusahaan kepada organisasi lainnya dalam perusahaan yang sama.

Kasus ini  sering terjadi ketika sebuah perusahaan besar memiliki anak perusahaan sebagai pemasok atau pendukung usaha induk perusahaan.

Sedangkan dari aspek perpajakan, transfer pricing (TP) bisa dikatakan sebagai kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Dalam jurnalnya International Tax Prime, Arnold dan McIntyre, dua tokoh profesor di bidang hukum perpajakan mengatakan, transfer pricing merupakan harga yang ditetapkan oleh wajib pajak saat menjual, membeli, membagi sumber daya dengan afiliasinya (hubungan spesial).

Jika dilihat dari definisi di atas, sejatinya transfer pricing (TP) memiliki pengertian yang wajar. Itu artinya proses TP merupakan sebuah kegiatan yang memang ada dalam sebuah kegiatan industrial.

Namun belakangan. Istilah transfer pricing memiliki konotasi negatif karena dianggap sebagai lahan basah bagi perusahaan multinasional untuk menerapkan praktik penyelewengan pajak.

Praktik penyelewengan yang dimaksud adalah manipulasi atau abuse of transfer pricing. Manipulasi ini biasanya dilakukan dengan menerapkan kebijakan atas transfer harga yang berada di atas atau di bawah opportunity cost sebagai bentuk penghindaran kontrol pemerintah.

Penyelewengan ini memanfaatkan perbedaan regulasi antar negara terutama terkait tarif pajak. Singkatnya penyelewengan ini dilakukan dengan mark up atau mark down dengan maksud memperkecil jumlah pajak terutang.

Contoh Sederhana Abuse of Transfer Pricing

Contoh Pertama: Mark-Up

Sebuah perusahaan bernama Fulan Corp berkedudukan di negara “A” memiliki anak perusahaan di Indonesia bernama PT XYZ yang bergerak di bidang pakaian.

Untuk memproduksi pakaian jadi di Indonesia PT XYZ memperoleh bahan baku dari Fulan Corp dengan harga wajar di pasar impor sebesar USD 5/pcs. Namun dalam transaksi kedua perusahaan tersebut, harga bahan baku yang sama dijual  sebesar USD 15/pcs.

Dalam praktek ini Anda bisa melihat bahwa kedua perusahaan tersebut melakukan mark-up sebesar USD 10/pcs.

Proses mark-up ini tidak akan terjadi apabila dilakukan oleh perusahaan yang tidak memiliki hubungan spesial. Seperti yang dikatakan sebelumnya, salah satu praktek dari manipulasi TP adalah dengan melakukan mark-up berdasarkan hubungan spesial antar perusahaan.

Contoh Kedua: Penghindaran

Contoh kedua ini dimana Fulan Corp tidak langsung menjual bahan baku kepada PT XYZ namun melalui beberapa negara terlebih dahulu sehingga PT XYZ memiliki margin keuntungan kecil bahkan bisa saja merugi untuk menghindari potensi pajak.

Begini skemanya, Fulan Corp akan menjual bahan baku kepada anak perusahaannya yang berada di Thailand, lalu barang tersebut dijual ke anak perusahaan lainnya yang ada di Malaysia. Baru setelah dari Malaysia, bahan baku dijual ke PT XYZ yang ada di Indonesia.

Baca Juga: Pemerintah Perpanjang Insentif Pajak hingga Desember 2020

Contoh Ketiga: Mark-Down

Contoh ketiga dimana PT XYZ menjual produk pakaiannya seharga USD 20/pcs namun tidak menjual secara langsung kepada penjual akhir.

PT XYZ akan menjual terlebih dahulu ke perusahaan afiliasi PT A yang berada di negara “B” yang merupakan tax haven (memiliki tarif pajak rendah) dengan harga USD 12/pcs.

Barulah PT A menjual barang tersebut  ke PT S yang merupakan penjual akhir dan tidak memiliki hubungan khusus dengan PT A dan PT XYZ dengan harga USD 20/pcs.

Namun barang yang dikirim ke PT S tidak melalui PT A namun langsung dari PT XYZ. Karena penjualan dari PT A ke PT S hanya berupa invoice.

Bagaimana dampaknya?

Akibatnya, PT XYZ kehilangan keuntungan atau berkurang yang efeknya akan berdampak dari pajak penghasilan yang harus dibayar ke negara tempat PT XYZ beroperasi.

Dari contoh di atas, bahwa abuse of transfer pricing sangat berpotensi terhadap risiko berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak.

Baca Juga: Lengkap! Syarat Buat Dapat Gajian Full Bebas Pajak

Transfer Pricing dalam Peraturan Perpajakan di Indonesia

Peraturan transfer pricing (TP) secara umum diatur dalam Pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Pada pasal tersebut tepatnya pada ayat 3 disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle)

Dalam pasal tersebut, hubungan istimewa yang dimaksud adalah:

  • Wajib pajak (WP) mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada wajib pajak lainnya
  • WP menguasai WP lainnya dua atau lebih WP yang berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
  • Terdapat hubungan sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus atau ke samping satu derajat.

 

Sumber: Klik Pajak